Thursday 11 August 2016

Kepincut Kopi Ijen pada Festival Masyarakat Adat Internasional di Museum Nasional Jakarta

Assalaamu'alaikum...!! ^_^


Sekeluarnya saya dari Bank Indonesia (Selasa, 9 Agustus 2016), saya bingung memilih mau naik bus transjakarta dari halte Monas atau halte Bank Indonesia. Waktu itu saya memang ada niatan mau ke daerah Ratu Plaza. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan kaki ke arah halte Monas. Saat itu saya berpikir karena masih ada jeda waktu yang lumayan banyak, bagaimana kalau ke arah halte Monas saja. Saya mungkin bisa mencoba naik bus tingkat sebentar, atau malah mungkin bakal belok ke Museum Nasional untuk sekadar melihat-lihat koleksi dalam museum. Siang itu lumayan panas, namun alhamdulillah di sepanjang jalan banyak pohon besar sehingga banyak angin dan udara menjadi tidak terlalu menyengat panasnya.

Alasan saya ke Bank Indonesia : Menukar Uang Lusuh di Bank Indonesia.


Saya terlambat sampai di halte pemberhentian bus tingkat, karena saya lihat bus itu baru saja berangkat. Saya pun duduk melepas lelah di bangku halte, lalu minum air putih yang sengaja saya bawa dari rumah. Bonus tip untuk Teman ReeNgan yang mau ke Jakarta dan tidak membawa kendaraan pribadi nih ya:
  • Bawa air minum sendiri, saya pribadi lebih suka membawa air putih daripada air yang berasa-rasa
  • Bawa jajan sendiri walaupun cuma biskuit, lemper, atau buah
  • Bawa & isi kartu pembayaran (bukan kartu ATM atau kartu kredit) seperti Flazz, e-Money atau kartu pembayaran dari bank lain

Gagal naik bus tingkat, saya pun berniat ingin langsung naik bus transjakarta saja, namun langkah saya terhenti di depan Museum Nasional. Saya melihat banyak sekali stan-stan pameran di luar museum. Bermodal penasaran, hehehe, saya akhirnya mendekati pameran tersebut dan melihat-lihat stand kerajinan kain. Di stan tersebut dipajang berbagai macam barang yang terbuat dari berbagai macam kain, mulai dari kain batik dengan pewarnaan alami, lurik, stagen, kain tenun Sulawesi, dan lainnya. Kain-kain itu ada yang masih dalam bentuk kain panjang atau selendang, ada juga yang sudah dibuat tas, dompet, dan aksesoris. UKM tersebut mempunyai program yang bagus, dimana jika kita membeli produknya, maka setengahnya akan disumbangkan untuk pendidikan ekstrakurikuler menenun di sekolah-sekolah di Sulawesi sana, akhirnya saya beli juga satu. Saya ditunjukkan kain hasil menenun manual selama sebulan dari anak kelas 2 SMP di Sulawesi (saya lupa nama daerahnya).

Stan Teras Mitra
Saya penasaran sekali, sebetulnya mereka membuka stan-stan UKM tersebut dan saya lihat ada panggung besarnya lagi, itu dalam rangka apa. Si Kakaknya bilang pameran ini dalam rangka memeriahkan Hari Masyarakat Adat Internasional tanggal 9 Agustus. Oke, sampai disitu saya tiba-tiba merasa sedih sekaligus bersyukur, karena saya baru tahu ternyata ada Hari Masyarakat Adat Internasional. Sesampainya saya di rumah, saya googling tentang masyarakat adat. Menurut AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dalam hasil Kongres I tahun 1999, masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-asul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh Hukum Adat dan Lembaga Adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Pameran itu berlangsung dua hari, yakni Senin dan Selasa (8-9 Agustus 2016).

Saya lalu menuju stan di sampingnya yang ternyata berasal dari Kalimantan. Di stan itu dipamerkan kerajinan-kerajinan tangan khas Kalimantan. Mata saya terfokus pada beberapa item yang kebetulan dekat dengan saya, yaitu beberapa bungkus biji-bijian yang belum pernah saya lihat dan benda putih panjang yang terbungkus daun. Alhamdulillah Bapak penjaga stan-nya ramah sekali dan mau menjawab semua pertanyaan saya (kecuali harga, karena ternyata bukan beliau yang bertanggung jawab soal penjualan, ada Bapak satu lagi tapi sedang ke belakang). Maaf ya Teman ReeNgan, di stan ini saya lupa memotret. Ada dua jenis biji-bijian di situ yang ternyata adalah jewawut dan jelai. Kedua biji-bijian tersebut yang saya tahu bisa dijadikan makanan pokok pengganti nasi (jadi kayak diversifikasi bahan pangan lah). Saya tanya cara masaknya bagaimana, si Bapaknya bilang sama seperti jika kita membuat nasi. 

Benda putih panjang itu ternyata adalah Garam Gunung (Tucu'), garam yang berasal dari dataran tinggi Krayan, Kalimantan Utara. Jadi, di Krayan ada banyak sekali (menurut brosur ada 33) mata air asin, yang kemudian dimanfaatkan oleh warga untuk membuat garam. Cara membuatnya pun masih sederhana, yakni air asin tersebut direbus sampai dapat ekstrak garamnya, lalu dipadatkan dan dibungkus daun, kemudian dibakar sampai keras & kering. Tucu' ini sudah mempunyai kadungan iodium dan bisa awet sampai bertahun-tahun. Bahkan Tucu' sudah terdaftar lho di Slow Food Ark of Taste, yakni sebuah pengakuan untuk produk-produk yang memiliki karakteristik unik, bercita rasa lokal, dan termasuk produk langka serta istimewa. Untuk mata air asin di gunung ini saya enggak kaget, karena di Sangiran, Jawa Tengah pun ada beberapa mata air asin, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Saat sampai di rumah, saya sedih karena enggak jadi membeli Tucu', tapi seenggaknya sekarang sudah bisa menerima mungkin belum jadi rejeki saya ^_^.

Trus cerita kopi ijennya mana? Hehehe, gini karena hari itu waktu jalan-jalan saya sebenarnya terbatas, saya tidak bisa banyak bertanya di semua stan. Akhirnya saya memutuskan mengakhiri jalan-jalan saya di situ. Hingga saat di tangga keluar, tiba-tiba saya ingin melihat stan yang memajang beberapa bungkus biji kopi hijau dan alat-alat pembuat kopi. Dalam hati sebetulnya bilang gini, "Pingin beli kopinya, tapi biasanya yang kayak gini kan mahal". Tapi anehnya saya tetap kesitu juga. Saya disambut ramah oleh mas Kisma dan mas yang satunya lagi (maaf ya mas, saya lupa namanya) yang menerangkan tentang biji-biji kopi yang dipajang. Saya juga ditawari minum kopi hasil sangraian mereka kemarin, campuran antara robusta dan arabica. Hiks, saya lupa persentase mana yang arabica, mana robusta (itu kemarin persentasenya 70% 30%). Berdasarkan hasil pencarian di google (karena penjelasan mas Kisma kemarin tidak saya catat), kopi robusta memiliki karakter rasa lebih ke kacang-kacangan & cenderung pahit. Sedangkan kopi arabica karakter rasanya cenderung asam, namun lebih kaya rasa dan aroma. Iya sih, campuran itu beraroma rempah dan aroma kopi jadi satu.

Coba lihat busanya, banyak ya, padahal tekonya hanya sedikit digoyang lho.
Tadinya saya takut asam lambung saya naik, namun mereka meyakinkan saya, Insyaa Allah enggak naik asam lambungnya. Oke, saya coba tanpa gula, seruputan pertama rasa pahit mendominasi tapi pahitnya itu ringan enggak bold, lalu ada rasa & aroma kacang-kacangan. Saya mencari-cari after taste yang biasanya ada rasa asam tapi kok enggak ada ya. Nah, baru pada seruputan kedua, mulai terasa ada rasa asamnya tapi enggak terlalu asam. Kata si masnya coba dikasih gula pasir, katanya karena saya biasanya minum kopi sachet takutnya enggak cocok dengan kopi itu. Eh ladalah, ternyata saya malah enggak suka setelah kopinya diberi gula pasir. "Enakan tanpa gula, Mas" kata saya. Hahaha.. saya pun diberi lagi secangkir yang tidak pakai gula pasir. Setelah minum kopi, saya masih agak lama di stan itu, tapi alhamdulillah perut saya nyaman-nyaman saja enggak ada yang bergejolak atau perih atau mual, wow!.

Kenapa saya enggak berani minum kopi : Tentang Nikmat

Mereka menerangkan kalau biji kopi yang saya minum tadi, asalnya dari perkebunan kopi di Banyuwangi. Ada tiga tempat yang mereka sebutkan, tapi saya hanya ingat yang di Ijen, karena saya ingat lokasi shooting film Filosofi Kopi kan di situ ya, hehe. Bagi masyarakat Indonesia, kopi adalah magnet untuk berkumpul, terbukti ketika saya datang ke situ masih sepi, lalu sekitar jam 11 an mulai lah berdatangan Bapak-bapak & Kakak-kakak untuk mencoba secangkir dua cangkir kopi sambil mengobrol panjang lebar. Saya? Masih asyik dengan kopi saya dong dan mendengarkan obrolan mereka. Banyak juga turis mancanegara yang datang, mencicipi dan bertanya-tanya tentang kopi Banyuwangi ini. 

Biji kopi dan alat penyeduh kopi
Di stan ini diperlihatkan mulai dari biji kopi yang masih hijau dari beberapa daerah di Indonesia, biji kopi yang sudah disangrai, kopi bubuk, dan minum kopi gratis, hehehe. Ada juga lho demo menyangrai biji kopi menggunakan tungku dan kuali dari tanah liat. Saya bertanya alasan memakai tungku dan kayu bakar. Ternyata bisa menambah aroma kopinya, tapi kayu yang dipakai jangan yang bergetah macam kayu nangka atau pinus, karena kopi bisa menyerap aroma getahnya itu. Trus penggunaan kuali tanah liat dimaksudkan untuk meredam panas api sehingga biji kopi tidak cepat gosong. Si Bapak terus mengaduk tanpa henti selama 12-15 menit sampai ke tahap kematangan yang diinginkan. Setelah sejam lebih saya disitu, saya pun pamit. Rejeki memang enggak kemana ya, saya diberi oleh-oleh sebungkus kopi Ijen yang tadi saya minum, terharu..! Terimakasih ya Mas & Pak ^_^. Di Banyuwanginya sendiri, mereka menerima bila ada yang ingin berkunjung ke perkebunan kopi (Mas Kisma ini pemandu kopi bersertifikat lho) atau kalau ada Teman ReeNgan yang ingin memesan kopi juga bisa. Oh iya, untuk harga kopi bubuk yang blend tadi, menurut saya tidak mahal dibanding dengan rasa & aromanya yang kuat.

Proses menyangrai kopi secara tradisional
Hari itu, saya bersyukur sekali. Allah meringankan langkah saya untuk mendapatkan pengalaman, ilmu pengetahuan dan teman yang baru. Semoga UKM-UKM di Indonesia bisa berkembang dengan sangat baik, dan kebudayaan lokal Indonesia juga terus terjaga, aamiin. Bila ada Teman ReeNgan yang akan ke Kalimantan Utara atau berdomisili di situ, apakah saya boleh ikut membeli Tucu', jewawut dan jelainya? ^_^

Website AMAN : www.aman.or.id
Teras Mitra (kain tenun yang tadi saya ceritakan) : www.terasmitra.com
     Jln bacang 2 no.8, Kramat Pela, Jakarta Selatan 12130 (021 7206125)
Mas Kisma (Kopi Ijen) : 0812 3460 2605

3 comments:

  1. wah, asyik ya pamerannya, bisa lihat langsung demo nyangrai kopi

    ReplyDelete
  2. Aku baru tahu ada garam dari dataran tinggi. Tahun ya kn dr lantai aja. Hehee, kopi ijen jd inget merapi.

    ReplyDelete
  3. sayang banget saya bukan penikmat kopi, padahal kalau lihat prosesnya mesti ya hasilnya juga sedap, teman-teman pada suka kopi tapi aku aneh sendiri

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...