Monday 22 August 2016

Bagi Saya, Menjadi Paskibra Adalah Pengalaman yang Luar Biasa

Assalaamu'alaikum...!! ^_^

Harusnya saya menulis artikel ini saat sedang hangat-hangatnya isu paspor salah satu anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) tahun ini ya, atau saat adik-adik Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) di Siantar menangis sedih. Namun, saya baru bisa menulis sekarang, setelah mengumpulkan kembali beberapa memori tentang Paskibra. Iya, dua peristiwa yang pernah hangat beberapa hari yang lalu itu, membuat saya kembali mengingat pengalaman saya sewaktu menjadi Paskibra tingkat desa dan kecamatan. Saya memang tidak pernah menjadi Paskibra tingkat kabupaten, provinsi, apalagi pusat, namun saya yakin rasa dan semangatnya sama.

Paskibra (attribusi: By F1Fans (Own work) [CC0], via Wikimedia Commons)

Sejak kecil, saya sudah suka dengan baris-berbaris. Apalagi sesudah orang tua saya membeli televisi tabung hitam putih. Setiap tanggal 17 Agustus, yang saya nanti adalah liputan langsung Upacara Peringatan HUT RI dari Istana Negara. Dari semua rangkaian upacara, pastinya yang saya tunggu adalah saat pasukan Paskibraka mulai bertugas. Ada rasa bangga yang ikut membuncah di dada, ada semangat yang menulari saya disetiap derap mantap langkah-langkah mereka. Gagah dan percaya diri, itu yang saya lihat dari mereka. Saya ikut menangis waktu ada tayangan mereka menangis saat mencium bendera Merah Putih. Apakah karena saya masih kecil saat itu? Mungkin juga ya. Namun, tayangan-tayangan seperti itu mampu menumbuhkan rasa memiliki tanah air ini, sampai saat ini.

Saya ikut ekstra-kurikuler (ekskul) Pramuka saat SMP, selain karena Pramuka adalah ekskul wajib, di sini juga akan diajari baris-berbaris. Di SMP saya waktu itu belum ada ekskul Paskibra. Dari ekskul Pramuka inilah saya mendapat ilmu baris-berbaris, disamping ilmu-ilmu yang lain tentunya. Kemudian, saya sering dipercaya untuk menjadi salah satu dari 3 pengibar bendera saat upacara hari Senin. Pastinya saat kelas saya kebagian bertugas. Perjalanan saya dalam hal baris-berbaris berlanjut saat ada perlombaan upacara dan baris-berbaris tingkat SMP se-kecamatan. Latihannya sekitar 2 bulan. Seingat saya seminggu 3 kali sepulang sekolah kami latihan baris-berbaris dan upacara. Di lomba upacaranya saya didaulat sebagai Master of Ceremony (MC). Walau tim kami tidak keluar sebagai pemenang, namun saya tetap bangga. Karena lelahnya berlatih, tunai sudah dengan penampilan kami yang cemerlang.
Perjalanan menjadi Paskibra berlanjut persis saat saya masuk SMA. Waktu itu saya dan beberapa teman dipanggil kepala sekolah untuk mewakili sekolah menjadi anggota Paskibra di kecamatan. Saya senang bukan main. Yang ada dalam pikiran saya adalah saya akan berusaha sebaik mungkin dan memberikan yang terbaik. Namun, saat itu saya akhirnya tidak terpilih di pasukan 17 maupun pasukan 8, saya menjadi petugas pembaca pembukaan UUD 1945. Hampir sebulan kami latihan. Setiap sebelum latihan utama, kami diminta lari keliling lapangan sebanyak 10 putaran sebagai pemanasan. Latihannya sendiri dilakukan dari jam 8 pagi sampai jam 1 siang. Ada satu pelajaran paling berharga yang saya dapat di sini, yaitu "Jangan makan gorengan dalam bentuk apapun sampai kamu menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan suara". Ceritanya, persis saat sarapan sebelum mulai upacara, saya makan sepotong gorengan. Jadilah saat upacara, suara saya tidak maksimal. Saya sedih. Latihan sebulan jadi berantakan karena sepotong gorengan. Baru sorenya saat aubade, saya ikut ke dalam pasukan 17.

Kemudian, saat saya kelas 2 SMA, saya dipanggil oleh penanggung jawab upacara HUT RI di desa. Saya diminta bergabung dengan santri-santri pondok pesantren di desa dan beberapa pemuda desa untuk menjadi Paskibra. Waktu itu, saya didaulat sebagai pembawa bendera. Sayangnya saya lupa berapa lama kami latihan, sepertinya lebih dari dua minggu. Tanah di lapangan upacara tidak rata. Itu menjadi tantangan sendiri bagi kami, karena kemungkinan untuk salah langkah jadi lebih besar. Alhamdulillah, latihan kami tidak sia-sia, kami berhasil mengibarkan bendera Merah Putih dengan baik.

Dari semua pengalaman di atas, perasaan yang saya hadapi saat MC sudah mulai membuka upacara adalah sama, yakni cemas dan jantung berdetak kencang sekali. Untungnya kami juga dilatih untuk tersenyum, jadi keriuhan dalam dada ini jadi tersamarkan. Walau sebetulnya banyak kekhawatiran yang berkecamuk, seperti bagaimana jika saya salah membaca, bagaimana jika tiba-tiba langkah saya jadi berbeda sendiri, apa yang terjadi jika bendera terbalik, atau apakah nanti sampainya bendera bisa pas dengan lagunya, dan masih banyak lagi. Makanya kemarin, saat saya melihat video di youtube tentang peristiwa pengibaran bendera di Siantar, saya ikut menangis. I feel you, Dik. Saya pernah merasakan saat-saat seperti itu walau hanya di sekolah tapi malunya luar biasa. Saya juga merasa sedih saat Gloria akhirnya tidak bisa menjadi pasukan Arjuna di pengibaran bendera merah putih. Setelah penggemblengan selama 3 bulan, lalu gagal padahal lusa adalah hari H yang sangat dinanti. Saya enggak mau menyalahkan pihak manapun karena itu memang sudah prosedurnya ya. 

Apa yang saya dapat dari baris-berbaris, mengikuti upacara dan menjadi salah satu petugasnya? Saya berlatih disiplin, karena baris-berbaris memang butuh disiplin yang tinggi. Saya pun jadi sangat bangga dengan Indonesia, saya merasa memilikinya, dan saya merasa harus terus memberi yang terbaik untuknya tanpa syarat. Klise ya kesannya, tapi ya itulah yang saya rasakan. Teman ReeNgan ada yang pernah menjadi petugas upacara? Bagaimana perasaannya saat itu? Trus sekarang waktu mengingatnya kembali, apa yang Teman ReeNgan rasakan? ^_^ [] Riski Ringan

1 comment:

  1. Wahahahah mbak aku juga dulu Paskibra, salam Paskibra :)
    Kemarin juga sempet posting artikel tentang Paskibraka :D

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...